Tips Menjadi ASN yang Berintegritas Tinggi

Pendahuluan

Dalam struktur pemerintahan modern, keberadaan ASN (Aparatur Sipil Negara) tidak hanya dipandang sebagai pelaksana kebijakan, tetapi juga sebagai penjaga moralitas dan nilai-nilai luhur birokrasi. ASN adalah wajah negara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka berada di garda terdepan dalam melayani publik, menyusun kebijakan, hingga melaksanakan pembangunan di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, keberhasilan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sangat bergantung pada kualitas, integritas, dan komitmen para ASN dalam menjalankan perannya secara profesional dan bertanggung jawab.

Namun dalam praktiknya, integritas ASN sering kali menjadi isu krusial yang memerlukan perhatian serius. Banyak tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan nilai-nilai integritas di lingkungan birokrasi, mulai dari tekanan politik, budaya organisasi yang permisif terhadap pelanggaran, hingga godaan materi dalam bentuk suap, gratifikasi, dan konflik kepentingan. Di tengah meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas publik, integritas bukan lagi sekadar nilai ideal, tetapi menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Berdasarkan data dari berbagai lembaga pengawas dan lembaga antikorupsi, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika yang melibatkan ASN masih terus bermunculan. Fenomena ini menunjukkan bahwa memiliki peraturan dan sistem pengawasan saja tidak cukup. Diperlukan kesadaran yang tumbuh dari dalam diri setiap ASN untuk menjunjung tinggi nilai integritas, meskipun dihadapkan pada situasi dilematis sekalipun. Oleh karena itu, menjadi ASN yang berintegritas tinggi bukan hanya tugas administratif, melainkan panggilan moral dan bentuk nyata pengabdian kepada negara.

Integritas tidak hanya dilihat dari tidak melakukan tindakan koruptif secara eksplisit, melainkan juga dari hal-hal kecil dalam kehidupan kerja sehari-hari-datang tepat waktu, tidak memanipulasi data, jujur dalam laporan kinerja, serta adil dalam memberikan layanan kepada masyarakat. ASN yang berintegritas adalah mereka yang konsisten dalam bersikap, bertindak sesuai aturan meski tidak diawasi, dan tidak tergoda untuk menyimpang dari etika meski memiliki peluang. Maka dari itu, penting untuk menggali secara mendalam bagaimana cara menjaga, merawat, dan menumbuhkan integritas ini secara berkelanjutan.

Artikel ini disusun sebagai panduan komprehensif yang menyajikan berbagai tips, strategi, serta pendekatan praktis yang dapat diimplementasikan oleh setiap ASN, mulai dari tingkat pelaksana hingga pejabat struktural. Tips-tips ini dirancang bukan hanya berdasarkan teori atau regulasi, tetapi juga berdasarkan refleksi dari praktik baik yang telah terbukti mampu membentuk budaya kerja yang bersih dan profesional. Dengan memahami dan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan setiap ASN mampu menjadi agen perubahan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga menjadi teladan moral yang mampu memperkuat fondasi birokrasi Indonesia yang bersih, melayani, dan terpercaya.

Memahami Integritas sebagai Fondasi ASN

Integritas merupakan konsep mendasar yang menjadi landasan utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap ASN. Dalam konteks birokrasi dan pelayanan publik, integritas tidak bisa dimaknai secara sempit sebagai sekadar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, integritas mencakup keutuhan moral, kejujuran, keselarasan antara nilai-nilai pribadi dengan perilaku profesional, serta keberanian untuk memilih yang benar, meskipun berisiko. ASN yang memahami makna integritas secara komprehensif akan selalu menjadikan kejujuran sebagai prinsip hidup dan bekerja, menjauhkan diri dari praktik manipulatif, dan menolak segala bentuk pelanggaran etika meskipun dilakukan oleh rekan kerja atau atasan.

Memahami integritas sebagai fondasi bukanlah hal yang instan. Hal ini membutuhkan proses internalisasi nilai melalui pendidikan, pembinaan, dan pengalaman kerja yang reflektif. Seorang ASN yang memiliki pemahaman mendalam mengenai pentingnya integritas akan mampu melihat perannya bukan hanya sebagai pelaksana tugas administratif, melainkan sebagai penjaga keadilan dan pelayan masyarakat yang amanah. Integritas juga menjadi tolok ukur utama untuk membedakan antara ASN yang sekadar hadir dan ASN yang benar-benar berkontribusi terhadap perbaikan tata kelola negara. Dalam situasi di mana loyalitas kepada pimpinan bisa berbenturan dengan kepentingan publik, integritas menjadi kompas moral yang membimbing ASN untuk berpihak pada kepentingan yang lebih besar, yakni rakyat.

Lebih jauh lagi, integritas harus dipandang sebagai nilai kolektif, bukan hanya tanggung jawab individu. Ketika integritas menjadi budaya organisasi, maka setiap anggota birokrasi akan saling mengingatkan dan menjaga agar tidak ada penyimpangan. Dalam lingkungan yang berintegritas, ASN tidak akan merasa nyaman untuk melakukan pelanggaran karena tahu bahwa lingkungan sekitarnya memiliki ekspektasi tinggi terhadap etika dan kejujuran. Oleh karena itu, memahami integritas juga berarti menyadari bahwa setiap individu memiliki peran dalam membentuk ekosistem kerja yang bersih, profesional, dan humanis. Hanya dengan menjadikan integritas sebagai fondasi utama, ASN dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan bermartabat.

Membangun Karakter Pribadi yang Kuat

Karakter pribadi yang kuat adalah landasan penting dalam menumbuhkan dan menjaga integritas. Karakter merupakan himpunan nilai, sikap, dan kebiasaan yang membentuk cara seseorang berpikir, merespons situasi, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang ASN, karakter bukan hanya menjadi cerminan kepribadian individu, tetapi juga menjadi indikator seberapa besar integritas yang dimilikinya. Dalam birokrasi yang kompleks dan sering kali sarat dengan godaan kekuasaan serta tekanan eksternal, karakter pribadi yang kokoh menjadi tameng utama untuk tetap berdiri di atas prinsip-prinsip etika.

Langkah pertama dalam membangun karakter pribadi yang kuat adalah dengan melakukan introspeksi diri secara rutin. ASN harus memiliki kepekaan untuk terus mengevaluasi motivasi, perilaku, dan keputusan yang diambil dalam pelaksanaan tugas. Apakah keputusan tersebut diambil karena tekanan atasan, karena kepentingan pribadi, atau murni untuk kepentingan masyarakat? Refleksi ini penting agar setiap tindakan tidak keluar dari rel profesionalisme dan etika. Dengan membiasakan diri melakukan introspeksi, ASN akan tumbuh menjadi pribadi yang sadar diri, bertanggung jawab, dan tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan negatif.

Langkah kedua adalah menumbuhkan sikap tegas dalam menolak segala bentuk penyimpangan, sekecil apa pun. Dalam banyak kasus, integritas ASN runtuh bukan karena korupsi besar-besaran, tetapi dimulai dari kompromi kecil yang terus dibiarkan, seperti menerima bingkisan saat lebaran, “titipan” rekan kerja, atau pembiaran atas kesalahan administrasi. Sikap “toleransi terhadap penyimpangan kecil” ini jika tidak dihentikan akan berkembang menjadi budaya permisif yang merusak moral institusi. Oleh karena itu, penting bagi ASN untuk membangun mental “zero tolerance” terhadap pelanggaran, tidak mencari-cari pembenaran, dan berani mengatakan “tidak” terhadap praktik yang tidak sesuai nilai integritas.

Langkah ketiga adalah mengembangkan ketahanan moral dan emosional. ASN tidak bekerja dalam ruang hampa. Dalam banyak situasi, mereka dihadapkan pada dilema etika, tekanan politik, ekspektasi masyarakat, hingga relasi kuasa di dalam organisasi. ASN yang tidak memiliki karakter tangguh akan mudah tergoda untuk mengambil jalan pintas atau bersikap oportunistik. Maka dari itu, membentuk karakter yang kuat juga berarti membangun daya tahan moral dan kemampuan untuk bersikap tegas di bawah tekanan. Ketahanan ini bisa dikembangkan melalui pelatihan etika, studi kasus, pendampingan dari atasan yang berintegritas, dan pembiasaan untuk berdialog secara terbuka mengenai nilai-nilai organisasi.

Langkah keempat adalah membangun kebiasaan berpikir mandiri dan kritis. ASN harus mampu membaca situasi secara jernih dan tidak sekadar menjadi pelaksana pasif. Dalam konteks ini, berpikir mandiri berarti mampu memutuskan sesuatu berdasarkan prinsip dan pertimbangan rasional, bukan karena ikut-ikutan atau takut terhadap tekanan senioritas. Dengan kemampuan berpikir kritis dan independen, ASN tidak mudah dimanipulasi atau dikendalikan oleh kepentingan yang tidak sejalan dengan tugas pelayanan publik. Selain itu, ASN dengan karakter kuat akan lebih proaktif dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang etis dan berkelanjutan, bukan solusi instan yang rawan penyimpangan.

Terakhir, karakter kuat juga ditandai oleh kemampuan menjaga konsistensi antara nilai pribadi dengan tindakan nyata. ASN yang berintegritas tidak hanya berbicara tentang kejujuran, tapi juga mewujudkannya dalam laporan kinerja, penggunaan anggaran, hingga interaksi dengan rekan kerja. Konsistensi inilah yang membedakan ASN yang hanya pandai retorika dengan ASN yang sungguh-sungguh menjadi panutan. Jika setiap ASN memiliki karakter pribadi yang tangguh dan kokoh, maka sistem birokrasi kita akan memiliki fondasi moral yang kuat, yang mampu menghadapi tantangan zaman, tekanan eksternal, dan dinamika politik tanpa kehilangan arah.

Menjaga Profesionalisme dan Etika Kerja

Integritas ASN tidak akan pernah bisa berdiri sendiri tanpa ditopang oleh profesionalisme dan etika kerja yang kuat. Profesionalisme merupakan kesungguhan dalam menjalankan tugas sesuai kompetensi, prosedur, dan tanggung jawab jabatan. Sedangkan etika kerja mencerminkan nilai-nilai moral yang mengatur perilaku individu dalam konteks hubungan kerja. Kedua unsur ini-profesionalisme dan etika-adalah pilar utama yang memastikan bahwa ASN tidak hanya bekerja sesuai peraturan, tetapi juga menjunjung nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.

Menjaga profesionalisme dimulai dari hal yang paling sederhana namun sangat fundamental: kedisiplinan. Seorang ASN yang disiplin waktu, disiplin administrasi, dan disiplin prosedural menunjukkan penghormatan terhadap sistem kerja yang berlaku. Mereka datang tepat waktu, tidak menyalahgunakan waktu kerja untuk urusan pribadi, serta menyelesaikan tugas dan laporan sesuai tenggat. Profesionalisme juga ditunjukkan melalui kemampuan teknis yang andal-ASN harus menguasai bidang kerjanya secara mendalam, memahami peraturan terbaru, serta mampu menggunakan perangkat kerja secara efektif dan efisien. ASN yang profesional tidak akan menunda pekerjaan, tidak menyalahkan orang lain atas kegagalan sendiri, dan selalu berupaya mencari solusi berbasis data dan logika, bukan emosi atau kepentingan pribadi.

Namun profesionalisme tanpa etika kerja akan menjadi kering, kaku, dan berisiko menjadi instrumen formalitas semata. Etika kerja memberikan roh dan arah moral bagi profesionalisme. Etika kerja seorang ASN tercermin dari cara mereka berkomunikasi, memperlakukan sesama, dan bersikap terhadap masyarakat. ASN yang etis akan menjaga tutur kata, tidak merendahkan orang lain, serta bersikap adil tanpa membedakan latar belakang pengguna layanan. Mereka tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, tidak bermain mata dalam proses pengadaan, dan tidak menerima hadiah dari pihak yang memiliki hubungan kerja. Lebih jauh lagi, ASN yang menjunjung etika akan menjaga integritas data, tidak menyebarluaskan informasi rahasia, serta menghormati kerahasiaan negara.

Salah satu bentuk nyata menjaga profesionalisme dan etika adalah dengan menghindari konflik kepentingan. ASN harus mampu mengenali potensi benturan antara tugas publik dan kepentingan pribadi. Misalnya, jika seorang ASN bertugas dalam proses seleksi penyedia barang/jasa, maka ia harus menolak untuk menangani berkas jika ada kerabatnya yang menjadi peserta lelang. Ketegasan dalam menolak potensi konflik kepentingan merupakan bukti integritas dan kematangan profesional yang patut diteladani. Di samping itu, menjaga etika juga berarti tidak memanfaatkan jabatan untuk mempengaruhi keputusan, mutasi, atau promosi ASN lain demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Dalam lingkungan kerja birokrasi yang penuh tekanan, menjaga profesionalisme dan etika kerja juga membutuhkan dukungan sistem dan kepemimpinan yang sehat. Pemimpin birokrasi harus menjadi teladan dalam berperilaku profesional dan etis. Jika atasan melakukan pelanggaran atau bersikap permisif terhadap penyimpangan, maka anak buah akan kehilangan pedoman moral. Oleh sebab itu, budaya kerja berbasis integritas harus dibangun dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, menciptakan suasana kerja yang mendorong keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi yang sehat.

Tak kalah penting, profesionalisme dan etika kerja ASN perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di era digital, banyak interaksi ASN dengan masyarakat yang terjadi secara daring. Ini menuntut etika baru dalam komunikasi digital: tidak menyebarkan hoaks, tidak mengumbar pernyataan yang mencemarkan nama baik institusi, serta menjaga netralitas ASN dalam ruang-ruang publik virtual. ASN juga harus memahami batas antara kebebasan berekspresi sebagai warga negara dan tanggung jawab profesi sebagai abdi negara. Profesionalisme di era digital mencakup kemampuan menggunakan teknologi untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan, tanpa melanggar privasi, keamanan data, atau etika publik.

Jika profesionalisme dan etika kerja dijaga secara konsisten, maka integritas ASN tidak akan mudah digoyahkan. ASN tidak hanya akan bekerja secara benar, tetapi juga akan melakukannya dengan hati, dengan empati, dan dengan tanggung jawab moral yang tinggi. Ini bukan sekadar tuntutan peraturan, tetapi panggilan hati nurani yang menjadi inti dari pelayanan publik yang bermartabat.

Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan

Dua prinsip fundamental dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah transparansi dan akuntabilitas. Bagi seorang ASN, mengamalkan kedua prinsip ini bukan hanya tentang mematuhi aturan birokrasi, tetapi lebih dari itu: menjadi wujud nyata dari komitmen pelayanan publik yang jujur, terbuka, dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Integritas tanpa transparansi bisa menjadi kabur, dan akuntabilitas tanpa transparansi hanya akan menjadi slogan kosong.

Transparansi berarti keterbukaan informasi dan proses kerja kepada publik secara jujur dan dapat diakses. Dalam konteks ASN, transparansi mencakup cara penyusunan anggaran, pengadaan barang dan jasa, perencanaan program, hingga penilaian kinerja. Transparansi menuntut ASN untuk tidak menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, dan tidak melakukan manipulasi terhadap data atau laporan. Sebagai contoh, dalam proses distribusi bantuan sosial, ASN yang berintegritas akan memastikan bahwa data penerima bantuan dapat diverifikasi secara terbuka, bukan diselewengkan untuk kepentingan golongan tertentu. Transparansi membangun kepercayaan, dan kepercayaan adalah mata uang moral ASN di mata masyarakat.

Namun, transparansi saja tidak cukup. Harus ada akuntabilitas, yaitu kesediaan dan kemampuan ASN untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil. Akuntabilitas menuntut adanya pelaporan yang jelas, mekanisme pengawasan yang ketat, dan kesiapan menghadapi evaluasi. Seorang ASN harus siap dikritik dan dievaluasi oleh atasan, auditor, hingga publik. Dalam pelaksanaan program pemerintah, akuntabilitas berarti setiap rupiah yang dibelanjakan harus dapat dijelaskan: untuk apa, mengapa, dan kepada siapa. ASN tidak boleh menghindar atau bersikap defensif ketika diminta klarifikasi; justru harus menjadikan momen evaluasi sebagai peluang memperbaiki layanan dan meningkatkan kinerja.

Transparansi dan akuntabilitas juga erat kaitannya dengan digitalisasi layanan publik. Di era modern, penggunaan teknologi informasi memungkinkan pengelolaan dokumen, laporan keuangan, hingga pelayanan masyarakat dilakukan secara lebih terbuka dan terstruktur. ASN yang berintegritas harus mendukung transformasi digital ini, bukan menghambatnya karena takut kehilangan celah untuk melakukan manipulasi. Misalnya, dalam sistem e-procurement atau e-budgeting, ASN dituntut untuk jujur dan teliti dalam menginput data karena jejak digital tidak bisa dihapus sembarangan. Ini sekaligus menjadi cara untuk mencegah terjadinya rekayasa atau korupsi secara sistemik.

Budaya transparansi juga harus tertanam dalam hubungan kerja antarlembaga. ASN harus menjalin komunikasi terbuka, menjelaskan keputusan secara rasional, dan tidak menutup-nutupi proses kepada pihak internal maupun eksternal yang berkepentingan. Hal ini sangat penting dalam membangun sinergi antarinstansi serta menjaga nama baik institusi. Demikian pula dalam interaksi dengan masyarakat, ASN harus mampu menyampaikan informasi kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit, dan tidak menyembunyikan dampak negatif kebijakan.

Untuk menanamkan budaya akuntabilitas, dibutuhkan sistem kerja yang berbasis pelaporan dan umpan balik. Setiap ASN harus terbiasa menyusun laporan kerja secara obyektif dan bertanggung jawab. Laporan bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai alat refleksi dan evaluasi. Selain itu, mekanisme umpan balik dari masyarakat harus benar-benar dimanfaatkan. Banyak instansi menyediakan kotak saran, kanal pengaduan, hingga survei kepuasan masyarakat, namun tidak ditindaklanjuti secara serius. ASN yang berintegritas justru menjadikan kritik masyarakat sebagai bahan evaluasi yang berharga, bukan sebagai ancaman terhadap kinerja atau ego pribadi.

Penerapan transparansi dan akuntabilitas juga mensyaratkan adanya perlindungan terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower). ASN yang melihat praktik curang di sekitarnya harus merasa aman dan didukung apabila ingin melapor. Institusi perlu menciptakan sistem yang melindungi integritas pelapor dan tidak membiarkannya menjadi korban intimidasi. Keberanian untuk melaporkan kesalahan adalah bentuk tertinggi dari integritas ASN-bukan hanya melindungi dirinya sendiri, tetapi juga menjaga kehormatan profesi dan institusi.

Akhirnya, penting untuk dipahami bahwa transparansi dan akuntabilitas bukanlah beban, tetapi sarana untuk memperkuat kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap ASN. Masyarakat saat ini semakin kritis dan menuntut kejelasan atas segala bentuk layanan yang diberikan negara. ASN harus menjawab tuntutan itu dengan membuka diri terhadap pengawasan dan bersikap terbuka terhadap perubahan. Integritas tidak bisa hanya ditunjukkan dalam ruang kerja tertutup; ia harus tampak jelas dalam laporan, kebijakan, serta interaksi nyata dengan publik. Inilah fondasi birokrasi yang bersih, profesional, dan dipercaya rakyat.

Kesimpulan: Integritas Sebagai Jalan Panjang yang Konsisten

Menjadi ASN yang berintegritas tinggi bukanlah tugas yang sederhana, bukan pula pencapaian sesaat. Integritas adalah perjalanan panjang yang menuntut konsistensi, keberanian moral, dan kesadaran penuh bahwa jabatan publik bukan sekadar kedudukan, melainkan amanah rakyat. Di tengah dinamika birokrasi, tekanan kepentingan politik, godaan materi, dan tantangan etika, ASN yang ingin tetap bersih dan profesional harus memiliki kompas moral yang kokoh. Kompas itu tidak lain adalah integritas, yang mengarahkan setiap langkah, keputusan, dan tindakan ke arah yang benar, meskipun tidak selalu mudah atau menguntungkan secara pribadi.

Sepanjang artikel ini, telah dijabarkan berbagai aspek penting yang menopang integritas seorang ASN. Mulai dari pemahaman terhadap nilai-nilai dasar ASN-seperti jujur, adil, dan netral-hingga upaya menanamkan budaya anti-korupsi dalam setiap aspek kerja. ASN yang berintegritas tidak akan berselingkuh dengan kepentingan sempit; mereka menjadikan tugas pelayanan sebagai panggilan jiwa, bukan sekadar rutinitas administratif. Mereka menolak praktik manipulatif, membangun transparansi sebagai standar kerja, serta bersedia bertanggung jawab atas setiap kebijakan dan keputusan yang mereka buat.

Selanjutnya, penguatan integritas juga berakar dari profesionalisme dan etika kerja yang tinggi. ASN yang menguasai bidangnya, berdisiplin dalam waktu dan prosedur, serta memperlakukan semua pihak dengan hormat dan adil, akan menjadi panutan dalam institusinya. Ditambah dengan keterbukaan informasi dan kesediaan untuk diawasi, ASN akan menjadi agen perubahan yang nyata, bukan simbol kosong dari sistem yang stagnan. Transparansi dan akuntabilitas tidak sekadar menjawab tuntutan formal, melainkan menjadi jalan membangun kepercayaan publik secara berkelanjutan.

Namun, integritas sejati tidak akan tumbuh hanya karena pelatihan atau regulasi. Ia harus dipupuk dari dalam: dari niat yang bersih, dari pemahaman mendalam tentang arti tanggung jawab publik, serta dari keteguhan hati untuk tetap berada di jalur yang benar meskipun menghadapi risiko. ASN yang berintegritas adalah mereka yang mampu berkata “tidak” pada praktik curang, yang tidak goyah ketika melihat celah penyimpangan, dan yang tidak diam ketika menyaksikan ketidakadilan. Mereka berani mengingatkan, menolak, bahkan bersaksi demi menjaga marwah lembaga dan harkat rakyat yang dilayani.

Di sisi lain, ekosistem birokrasi juga memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk dan melindungi integritas ASN. Tanpa sistem yang berpihak pada transparansi, tanpa pimpinan yang menjadi teladan moral, serta tanpa perlindungan terhadap pelapor pelanggaran, integritas ASN akan mudah goyah. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara individu ASN, institusi, dan pengawasan publik untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendorong kebaikan, menindak pelanggaran, dan memberikan ruang bagi pertumbuhan nilai-nilai luhur.

Integritas bukanlah slogan atau formalitas dalam pidato; ia harus menjadi budaya hidup ASN sehari-hari. Dalam menghadapi reformasi birokrasi yang terus berkembang, Indonesia membutuhkan ASN yang tidak hanya cerdas, tetapi juga jujur dan dapat dipercaya. Integritas menjadi fondasi untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan tepat sasaran, bahwa setiap kebijakan lahir dari kepentingan umum, dan bahwa setiap warga negara merasakan manfaat nyata dari hadirnya negara.

Akhirnya, menjadi ASN yang berintegritas tinggi adalah pilihan yang menuntut keberanian. Ini adalah jalan sunyi yang sering kali tak disorot kamera, tak dibanjiri pujian, bahkan tak jarang menghadapi resistensi. Tetapi dari jalan inilah muncul harapan. Harapan bahwa birokrasi kita akan lebih bersih, lebih melayani, dan lebih dihormati. Harapan bahwa negara benar-benar hadir dengan wajah yang jujur dan hati yang tulus.

Dan harapan itu akan menjadi nyata jika setiap ASN memulainya dari dirinya sendiri-hari ini, sekarang, dan tanpa menunggu orang lain.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *