Pendahuluan
Penentuan topik prioritas diklat merupakan langkah strategis yang tidak bisa dikerjakan secara sembarangan atau diputuskan secara subjektif, melainkan harus mengacu pada dokumen perencanaan pembangunan daerah yang paling otoritatif yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), karena hanya dengan merujuk pada visi, misi, tujuan, dan strategi yang telah disepakati dalam RPJMD, proses pemilihan topik pelatihan dapat dipastikan relevan dengan target pembangunan daerah, mampu menjawab tantangan pelayanan publik, serta memperkuat kompetensi aparatur sipil negara (ASN) dalam mendukung pencapaian indikator kinerja daerah. Dengan demikian, artikel ini akan menguraikan secara komprehensif bagaimana mekanisme, metodologi, dan tahapan yang harus dilalui oleh instansi untuk mengidentifikasi, memvalidasi, dan menetapkan topik-topik diklat prioritas yang bersumber dari RPJMD sehingga program pelatihan yang dilaksanakan tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi benar-benar menjadi instrumen percepatan pencapaian sasaran pembangunan daerah yang terukur dan terarah.
1. Dasar Hukum dan Konsep RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang memiliki posisi strategis dalam tata kelola pemerintahan daerah karena menjadi landasan bagi seluruh proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan selama periode lima tahun kepemimpinan kepala daerah. RPJMD disusun tidak semata-mata berdasarkan visi dan misi kepala daerah terpilih yang dituangkan dalam janji kampanye, melainkan juga melalui proses konsultasi publik yang intensif, termasuk Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota atau provinsi, agar arah pembangunan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat luas serta sejalan dengan agenda nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga.
Dari sisi regulasi, RPJMD memiliki kekuatan hukum yang sangat kokoh karena penyusunannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang‑Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017 yang secara teknis menjabarkan tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah. Dengan demikian, RPJMD bukan sekadar dokumen administratif, melainkan menjadi instrumen kendali yang mengikat seluruh perangkat daerah agar menyusun rencana kerja, program, dan anggaran tahunan yang selaras dengan strategi pembangunan daerah secara menyeluruh.
Dalam konteks perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai pemerintah, RPJMD memberikan arah yang sangat spesifik terkait pengembangan kapasitas aparatur dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tema utama yang selalu muncul dalam RPJMD, seperti reformasi birokrasi, penguatan pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, percepatan digitalisasi, peningkatan daya saing daerah, serta penguatan kapasitas kelembagaan. Oleh sebab itu, setiap program pelatihan yang dirancang oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) daerah atau instansi teknis lainnya, harus menjadikan RPJMD sebagai rujukan utama dalam menentukan prioritas topik yang akan dikembangkan dalam satu tahun anggaran.
Topik pelatihan yang ditetapkan, agar memiliki nilai strategis dan legitimasi hukum yang kuat, harus memiliki keterkaitan langsung dengan program unggulan daerah yang tercantum dalam RPJMD. Sebagai contoh, apabila salah satu fokus RPJMD adalah peningkatan ketahanan pangan, maka diklat-diklat terkait pertanian presisi, manajemen irigasi, dan pengelolaan pertanian terpadu harus diprioritaskan. Sebaliknya, apabila RPJMD menitikberatkan pada digitalisasi pemerintahan, maka diklat transformasi digital, keamanan siber, dan pelayanan publik berbasis elektronik harus dimasukkan sebagai prioritas utama. Dengan cara ini, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam program pelatihan akan memiliki kontribusi langsung terhadap pencapaian sasaran pembangunan jangka menengah yang terukur dan sah secara administratif.
2. Kaitan RPJMD dengan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Salah satu pilar utama yang mendasari keberhasilan pelaksanaan RPJMD adalah tersedianya sumber daya manusia yang tidak hanya mencukupi secara kuantitas, tetapi juga unggul dari sisi kualitas, karena tanpa kapasitas ASN dan tenaga teknis yang kompeten, berbagai program unggulan daerah akan sulit diwujudkan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, pengembangan SDM menjadi salah satu sasaran utama yang selalu dimuat dalam RPJMD setiap daerah, baik secara eksplisit dalam bentuk indikator kinerja seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maupun secara implisit dalam bentuk strategi penguatan kelembagaan, reformasi birokrasi, dan peningkatan kualitas layanan publik.
Pengembangan sumber daya manusia melalui program diklat menjadi instrumen operasional yang menjembatani antara kebijakan makro dalam RPJMD dan implementasi teknis di lapangan, di mana diklat tidak hanya berfungsi sebagai media pembelajaran, tetapi juga sebagai sarana rekonstruksi pola pikir, perilaku, dan budaya kerja ASN agar mampu bekerja dengan lebih profesional, responsif, dan berorientasi pada hasil. Oleh karena itu, program diklat tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah-melalui BPSDM atau unit pelaksana teknis lainnya-harus dirancang sedemikian rupa agar mampu mengisi celah kompetensi (competency gap) yang diidentifikasi berdasarkan kebutuhan pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJMD.
Sebagai ilustrasi konkret, apabila RPJMD suatu daerah menetapkan salah satu prioritasnya adalah peningkatan kualitas layanan kesehatan masyarakat melalui perluasan akses layanan dan peningkatan kapasitas tenaga medis, maka program diklat harus memfasilitasi pelatihan-pelatihan seperti manajemen rumah sakit daerah, penggunaan teknologi telemedisin, penguatan kapasitas tenaga perawat di Puskesmas, serta pelatihan tentang pengendalian penyakit menular dan tidak menular. Demikian pula, apabila RPJMD menetapkan pembangunan ekonomi berbasis potensi lokal sebagai program unggulan, maka diklat kewirausahaan daerah, manajemen UMKM, dan pelatihan pengolahan hasil pertanian harus menjadi prioritas.
Diklat yang selaras dengan RPJMD juga akan berkontribusi terhadap pencapaian berbagai indikator makro pembangunan SDM, seperti peningkatan angka partisipasi sekolah, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penurunan angka pengangguran terbuka. Selain itu, keterkaitan ini juga akan mempermudah proses pengawasan dan evaluasi program diklat oleh auditor internal maupun eksternal, karena seluruh program pelatihan dapat ditelusuri kontribusinya terhadap sasaran strategis daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD. Singkatnya, diklat bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan alat strategis untuk memperkuat kapasitas kelembagaan dan memastikan terwujudnya pembangunan daerah yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.
3. Metodologi Identifikasi Topik Diklat Prioritas
Agar topik-topik diklat yang dipilih benar-benar menjawab kebutuhan strategis pembangunan daerah yang tercermin dalam RPJMD, maka proses identifikasi harus dilakukan secara sistematis dengan menggabungkan berbagai pendekatan metodologis yang bersifat partisipatif, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Proses ini dapat dimulai dengan analisis dokumen RPJMD untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang memiliki implikasi langsung terhadap kebutuhan kompetensi pegawai. Isu-isu tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam tema-tema besar, seperti digitalisasi pemerintahan, transformasi ekonomi lokal, peningkatan ketahanan sosial, atau pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.
Setelah tema-tema besar berhasil diidentifikasi, tahap berikutnya adalah melakukan Training Needs Assessment (TNA) secara menyeluruh, yaitu proses identifikasi kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki pegawai dengan kompetensi yang seharusnya mereka kuasai untuk melaksanakan tugas berdasarkan arah pembangunan dalam RPJMD.
TNA dilakukan dengan menggunakan kombinasi berbagai metode, antara lain:
- Survei persepsi kebutuhan pelatihan kepada ASN dari berbagai jabatan dan unit kerja;
- Wawancara mendalam dengan atasan langsung untuk menggali persepsi terhadap performa dan gap kompetensi bawahannya;
- Diskusi kelompok terfokus (FGD) yang melibatkan perwakilan OPD dan pemangku kepentingan terkait; serta
- Analisis data kinerja organisasi dan pelaporan sebelumnya untuk melihat area yang memerlukan intervensi pengembangan kapasitas.
Hasil dari proses TNA ini selanjutnya dimasukkan ke dalam kerangka penilaian prioritas dengan menggunakan pendekatan Multicriteria Decision Analysis (MCDA), yakni teknik pengambilan keputusan yang mempertimbangkan banyak variabel secara bersamaan. Dalam konteks ini, setiap topik pelatihan dapat dinilai berdasarkan sejumlah kriteria seperti urgensi terhadap pencapaian target RPJMD, jumlah ASN yang membutuhkan pelatihan tersebut, potensi dampak terhadap peningkatan layanan publik, serta kelayakan dari sisi anggaran dan ketersediaan narasumber. Setiap topik diberi skor berdasarkan kriteria tersebut, kemudian diurutkan untuk mendapatkan daftar prioritas secara objektif.
Langkah akhir dari proses ini adalah melakukan validasi draft topik prioritas melalui forum konsultasi lintas sektoral, misalnya dalam bentuk workshop teknis yang melibatkan Bappeda, BKPSDM, bagian perencanaan OPD, dan pihak eksternal seperti akademisi atau mitra pembangunan. Forum ini penting untuk memastikan bahwa topik yang dipilih telah mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak, serta menghindari tumpang tindih antarprogram pelatihan. Setelah validasi selesai, topik diklat prioritas kemudian ditetapkan secara resmi melalui keputusan kepala daerah atau pimpinan instansi, dan dijadikan dasar dalam penyusunan rencana pelatihan tahunan, penganggaran, dan pemantauan pelaksanaan diklat ke depan.
4. Analisis Kebutuhan Berdasarkan Prioritas RPJMD
Setelah tema-tema strategis dari dokumen RPJMD berhasil diidentifikasi dan diklasifikasikan, tahapan berikutnya yang sangat krusial adalah melakukan analisis kebutuhan pelatihan yang berbasis pada prioritas pembangunan tersebut, atau yang lazim disebut sebagai kebutuhan pelatihan berbasis konteks kebijakan (policy-driven training needs). Dalam tahap ini, fokus utama tidak hanya terletak pada pengukuran kekurangan kompetensi teknis semata, tetapi lebih jauh lagi, diarahkan untuk menelusuri keterkaitan antara kekosongan atau kelemahan kompetensi pegawai dan hambatan dalam pencapaian indikator kinerja utama RPJMD yang menjadi sasaran tahunan maupun jangka menengah daerah.
Analisis ini menuntut pemahaman mendalam terhadap seluruh indikator dalam RPJMD, baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektor, seperti angka partisipasi sekolah, prevalensi stunting, jumlah desa mandiri, indeks kualitas lingkungan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan lain sebagainya. Setiap indikator tersebut mengisyaratkan adanya tanggung jawab dari perangkat daerah tertentu, dan dalam pelaksanaannya, keberhasilan pencapaian indikator tersebut sangat ditentukan oleh kapasitas ASN sebagai pelaksana program. Oleh karena itu, dilakukan pemetaan tentang siapa saja pelaku utama di balik indikator tersebut, apa kompetensi kunci yang mereka perlukan, dan sejauh mana kompetensi itu sudah tersedia atau belum.
Contohnya, jika dalam RPJMD terdapat indikator “meningkatnya rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk,” maka pelatihan tidak cukup hanya diberikan kepada tenaga medis semata, tetapi juga kepada manajer fasilitas kesehatan daerah, pejabat pengadaan alat medis, hingga ASN yang bertugas dalam pengelolaan data dan perencanaan kesehatan. Semua pihak tersebut membutuhkan pelatihan yang berbeda-beda, namun tetap dalam satu ekosistem kebijakan. Di sinilah pentingnya pendekatan analitis yang lintas sektor dan multidimensi, karena tantangan pembangunan daerah sering kali tidak bisa diselesaikan oleh satu unit kerja secara tunggal.
Analisis kebutuhan juga dapat dilakukan dengan pendekatan gap analysis, yaitu membandingkan kondisi aktual kompetensi pegawai dengan kompetensi ideal yang dibutuhkan untuk mencapai target RPJMD. Gap analysis dilakukan melalui instrumen seperti asesmen mandiri, laporan kinerja, hasil evaluasi program, atau rekomendasi dari Inspektorat dan BPK. Jika ditemukan bahwa keterlambatan penyerapan anggaran infrastruktur disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap perencanaan teknis, maka pelatihan tentang manajemen proyek konstruksi, pemrograman anggaran berbasis kinerja, atau regulasi pengadaan barang/jasa dapat menjadi topik diklat prioritas yang relevan.
Dengan kata lain, analisis kebutuhan berbasis RPJMD berfungsi sebagai jembatan antara perencanaan makro dan pelatihan mikro, memastikan bahwa pelatihan tidak hanya berdasarkan asumsi atau permintaan subjektif, tetapi lahir dari kebutuhan nyata yang memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan pembangunan daerah.
5. Integrasi Topik Diklat Prioritas ke dalam Renstra dan Renja
Setelah topik-topik pelatihan prioritas berhasil diidentifikasi dan dianalisis melalui metode yang sistematis, tahapan strategis selanjutnya adalah mengintegrasikan hasil identifikasi tersebut ke dalam dokumen perencanaan kelembagaan, khususnya Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) dari masing-masing perangkat daerah. Tanpa adanya integrasi ini, daftar topik prioritas yang sudah disusun dengan hati-hati akan kehilangan landasan operasional dan tidak bisa diimplementasikan secara sah dalam kegiatan tahunan yang dibiayai APBD maupun sumber dana lainnya.
Renstra merupakan dokumen perencanaan jangka menengah dari suatu perangkat daerah yang merinci program dan kegiatan dalam kurun waktu lima tahun ke depan, selaras dengan RPJMD. Renstra ini memiliki turunan tahunan yaitu Renja, yang menjadi basis penyusunan dokumen anggaran tahunan seperti RKA (Rencana Kerja Anggaran) dan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran). Oleh karena itu, topik pelatihan yang telah ditetapkan sebagai prioritas-khususnya yang bersifat lintas sektor dan mendukung indikator utama RPJMD-harus diterjemahkan ke dalam output dan outcome program pengembangan SDM yang tertuang eksplisit di dalam Renstra OPD pengampu.
Integrasi ini memerlukan langkah strategis berupa harmonisasi antara Bappeda, BKPSDM, dan OPD-OPD teknis, karena masing-masing memiliki peran yang berbeda tetapi saling terkait dalam siklus perencanaan. Misalnya, Bappeda berperan mengoordinasikan sinkronisasi substansi RPJMD dengan target Renstra OPD, sementara BKPSDM bertugas memetakan kebutuhan pelatihan dan mengoordinasikan pelaksanaannya lintas OPD, dan OPD teknis bertanggung jawab menyusun narasi program dan kegiatan sesuai bidang urusan yang dikuasainya. Harmonisasi ini idealnya difasilitasi melalui forum perencanaan tematik atau rapat koordinasi khusus pengembangan SDM.
Dalam dokumen Renstra, topik pelatihan prioritas dimasukkan sebagai bagian dari program prioritas pengembangan kompetensi ASN, lengkap dengan indikator kinerja berupa jumlah peserta yang akan dilatih, capaian pembelajaran, hingga peningkatan skor indeks profesionalisme ASN. Sementara dalam dokumen Renja, topik-topik ini dijabarkan dalam bentuk kegiatan konkret pelatihan, termasuk lokasi pelaksanaan, target peserta, durasi, serta alokasi anggaran. Kesesuaian antara dokumen perencanaan ini akan sangat membantu dalam proses penganggaran berbasis kinerja, mempermudah proses verifikasi oleh inspektorat maupun BPK, serta memastikan bahwa pelatihan tidak hanya dilaksanakan karena ketersediaan dana, tetapi karena telah direncanakan sejak awal berdasarkan kebutuhan dan strategi organisasi.
Lebih jauh, integrasi ini juga mendukung prinsip akuntabilitas publik, karena pimpinan daerah dapat menunjukkan kepada publik bahwa investasi pelatihan yang dilakukan setiap tahun memang bagian dari strategi besar pembangunan, bukan sekadar kegiatan rutin atau formalitas belaka. Dengan demikian, pelatihan akan dipandang sebagai instrumen kebijakan yang berdampak, dan bukan hanya sebagai kewajiban administratif tahunan.
6. Mekanisme Pendanaan dan Penganggaran Program Diklat Prioritas
Agar topik-topik pelatihan yang telah ditetapkan sebagai prioritas berdasarkan RPJMD dapat dilaksanakan secara nyata, dibutuhkan mekanisme pendanaan dan penganggaran yang jelas, akuntabel, serta fleksibel mengikuti dinamika kebutuhan strategis. Mekanisme ini harus dirancang secara holistik, mulai dari proses perencanaan anggaran, identifikasi sumber pendanaan, penyusunan rencana kerja anggaran (RKA), hingga proses eksekusi anggaran dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, agar tidak terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan pelatihan yang telah diprioritaskan dan kemampuan fiskal daerah.
Langkah awal yang sangat penting dalam proses ini adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan pelatihan yang telah dirumuskan dalam dokumen perencanaan, seperti Renja dan DPA, tercermin dengan baik dalam Rencana Kerja dan Anggaran Organisasi Perangkat Daerah (RKA-OPD), khususnya dalam subprogram pengembangan kompetensi ASN. Penyusunan RKA ini perlu memperhatikan prinsip efektivitas dan efisiensi, di mana setiap anggaran pelatihan disusun berdasarkan analisis biaya per unit pelatihan (unit cost), yang memperhitungkan jumlah peserta, kebutuhan narasumber, materi pelatihan, sarana prasarana, serta biaya monitoring dan evaluasi. Penyusunan unit cost yang tepat akan mencegah pemborosan, memastikan ketercukupan sumber daya, serta mendukung pertanggungjawaban penggunaan anggaran secara administratif dan keuangan.
Selain itu, pemerintah daerah perlu menggali berbagai sumber pembiayaan alternatif untuk mendukung pelaksanaan diklat prioritas, tidak hanya mengandalkan anggaran murni APBD. Beberapa skema pembiayaan yang dapat dijajaki antara lain pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan dan pelatihan, kerja sama dengan lembaga donor internasional atau NGO yang bergerak di bidang pengembangan kapasitas, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMD atau mitra swasta, serta kolaborasi dengan perguruan tinggi negeri atau swasta melalui skema pelatihan bersama (co-funding). Penggunaan skema multi-sumber pembiayaan ini akan meningkatkan daya jangkau pelatihan, memungkinkan pelaksanaan pelatihan berskala besar, serta mengurangi beban fiskal APBD secara langsung.
Proses penganggaran pelatihan juga harus memperhatikan ketentuan pengelolaan keuangan daerah, khususnya yang tercantum dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, termasuk pelaksanaan prinsip value for money, akuntabilitas anggaran berbasis kinerja, dan sistem pelaporan yang transparan. Selain itu, sinergi dengan Inspektorat, Bappeda, dan Badan Keuangan Daerah sangat penting untuk memastikan bahwa setiap pos anggaran pelatihan telah melalui proses verifikasi, sehingga terhindar dari potensi duplikasi kegiatan, ketidaksesuaian target sasaran, atau penyimpangan administratif.
Dengan sistem pendanaan dan penganggaran yang terencana, fleksibel, dan akuntabel, maka program diklat prioritas tidak hanya bisa dilaksanakan tepat waktu dan tepat sasaran, tetapi juga dapat diaudit, dievaluasi, dan direplikasi secara berkelanjutan dalam siklus perencanaan berikutnya.
7. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan Pelaksanaan Diklat Prioritas
Pelaksanaan program pelatihan yang telah ditetapkan sebagai prioritas berdasarkan RPJMD tidak akan memberikan hasil maksimal apabila tidak disertai dengan sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan yang komprehensif, sistematis, dan terintegrasi. Monitoring dan evaluasi (Monev) memiliki peran penting tidak hanya untuk menilai sejauh mana kegiatan pelatihan telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan anggaran, tetapi juga untuk menilai kualitas hasil belajar, perubahan perilaku kerja pegawai, serta kontribusi riil pelatihan terhadap pencapaian indikator RPJMD yang relevan.
Monitoring pelaksanaan pelatihan dapat dilakukan secara berjenjang dan berkala, baik oleh unit pelaksana teknis pelatihan, BKPSDM, Inspektorat, maupun Bappeda, melalui metode-metode seperti observasi lapangan, kuesioner kepuasan peserta, logbook pelatihan, laporan narasumber, serta dokumentasi audiovisual kegiatan. Monitoring ini harus mencakup informasi teknis seperti tingkat kehadiran peserta, kesesuaian materi dengan silabus, serta kendala operasional yang dihadapi selama pelatihan.
Sementara itu, evaluasi pelatihan sebaiknya dilakukan dengan mengacu pada model evaluasi pelatihan yang sistematis, seperti model Kirkpatrick, yang mencakup empat level yaitu:
- Reaction, menilai kepuasan dan respons peserta terhadap pelatihan;
- Learning, mengukur peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta melalui pre-test dan post-test;
- Behavior, menilai sejauh mana peserta menerapkan ilmu yang didapat dalam tugas pekerjaan sehari-hari; dan
- Result, menilai dampak pelatihan terhadap kinerja organisasi, misalnya meningkatnya efisiensi layanan, percepatan pengambilan keputusan, atau perbaikan kualitas output kerja.
Hasil dari monitoring dan evaluasi pelatihan tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk laporan pelaksanaan diklat yang berisi analisis kinerja program, capaian output dan outcome, serta rekomendasi perbaikan untuk pelatihan berikutnya. Laporan ini penting untuk disampaikan kepada kepala daerah, DPRD, serta OPD terkait sebagai bagian dari pertanggungjawaban penggunaan anggaran publik dan pelaksanaan program strategis daerah. Selain itu, laporan ini juga dapat digunakan sebagai dokumen pendukung untuk proses replikasi pelatihan, pelaksanaan audit internal, maupun penilaian kinerja kelembagaan secara keseluruhan.
Dengan adanya sistem monitoring dan evaluasi yang menyeluruh, maka program pelatihan tidak hanya menjadi kegiatan yang terlaksana secara administratif, tetapi benar-benar menjadi alat untuk memperkuat kapabilitas ASN dan mendukung pencapaian sasaran pembangunan yang tertuang dalam RPJMD.
Penutup
Menentukan topik prioritas diklat berdasarkan RPJMD bukanlah pekerjaan teknis biasa yang dilakukan oleh segelintir orang di unit pelatihan, melainkan merupakan proses strategis, multidisiplin, dan lintas sektor yang membutuhkan koordinasi, data yang kuat, legitimasi kebijakan, serta kejelasan arah pembangunan. Setiap tahapan dalam proses penetapan topik-mulai dari pemahaman konsep dasar RPJMD, analisis sasaran pembangunan manusia, metodologi identifikasi pelatihan berbasis data, integrasi ke dokumen perencanaan dan anggaran, hingga pelaksanaan monitoring dan evaluasi-harus dilalui dengan cermat dan sistematis agar pelatihan yang dilaksanakan benar-benar menjawab kebutuhan riil pembangunan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban anggaran tahunan.
Topik pelatihan yang dipilih dengan berlandaskan RPJMD memiliki legitimasi politis, hukum, dan administratif, yang akan memperkuat posisi program pelatihan sebagai instrumen pembangunan daerah, bukan hanya untuk ASN tetapi juga bagi masyarakat yang akan menerima manfaat langsung dari peningkatan kualitas layanan publik. Pelatihan yang selaras dengan RPJMD juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan APBD, memperkuat integrasi program lintas OPD, serta menjadi sarana membangun budaya kerja berbasis hasil yang berorientasi pada pencapaian indikator pembangunan daerah.
Dengan demikian, pendekatan penentuan topik diklat berbasis RPJMD adalah contoh nyata dari bagaimana pelatihan bisa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar kegiatan. Ia adalah alat transformatif untuk membangun birokrasi yang adaptif, berdaya saing, dan berkontribusi nyata dalam membentuk masa depan daerah yang lebih baik. Hanya dengan cara inilah pelatihan akan menjadi investasi strategis, bukan sekadar rutinitas tahunan yang membebani anggaran.