Pendahuluan
Penyusunan anggaran daerah merupakan fondasi utama bagi tercapainya pembangunan yang efektif, efisien, dan akuntabel di tingkat pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam praktiknya, anggaran daerah tidak semata-mata tentang menghitung angka pengeluaran dan pendapatan; melainkan sebuah proses perencanaan strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, analisis data, serta kepatuhan terhadap regulasi nasional. Pelatihan Penyusunan Anggaran Daerah dirancang untuk membekali aparatur sipil negara (ASN), kepala dinas, hingga staf perencana dengan keterampilan teknis dan wawasan kontekstual yang dibutuhkan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam komponen pembelajaran utama dalam pelatihan tersebut, mulai dari kerangka hukum hingga mekanisme evaluasi, dengan tujuan membantu pembaca memahami esensi dan ragam materi yang dipelajari.
1. Kerangka Hukum dan Kebijakan Anggaran Daerah
Pada sesi awal pelatihan, peserta diperkenalkan pada landasan hukum penyusunan anggaran daerah, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur pembagian kewenangan pusat-daerah dan prinsip otonomi;
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta revisinya, yang menetapkan proporsi dana bagi hasil dan dana alokasi umum;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 beserta perubahannya tentang pedoman teknis penyusunan APBD.Peserta mempelajari cara menafsirkan pasal-pasal kunci, menyesuaikan ketentuan umum dengan konteks lokal, serta melakukan identifikasi risiko hukum yang mungkin muncul apabila prosedur penyusunan tidak sesuai regulasi. Pendalaman studi kasus pelanggaran APBD dan sanksi administrasi maupun pidana turut memberikan wawasan praktis untuk mencegah kesalahan serupa.
2. Tahap Perencanaan: Sinkronisasi dengan RPJMD dan RKPD
Tahap perencanaan merupakan bagian krusial dalam siklus penyusunan anggaran daerah. Di sinilah visi pembangunan daerah yang tertuang dalam dokumen jangka panjang diterjemahkan menjadi rencana tahunan yang terukur dan teralokasi dalam APBD. Dalam pelatihan penyusunan anggaran daerah, sesi ini mendapat perhatian khusus karena menjadi titik awal lahirnya kebijakan anggaran yang berdaya guna dan berhasil guna.
2.1 Pemahaman Konseptual terhadap RPJPD, RPJMD, dan RKPD
Pelatihan dimulai dengan penjelasan konseptual mengenai keterkaitan dokumen perencanaan daerah:
- RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) adalah dokumen perencanaan strategis jangka panjang (20 tahun) yang berfungsi sebagai arah pembangunan lintas kepala daerah.
- RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) disusun setiap awal masa jabatan kepala daerah, berlaku untuk jangka waktu lima tahun, dan merupakan turunan dari RPJPD yang disesuaikan dengan visi-misi kepala daerah terpilih.
- RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) merupakan rencana pembangunan tahunan daerah yang menjadi dasar penyusunan APBD tahun berjalan.
Melalui diskusi dan pembelajaran studi kasus, peserta pelatihan diajak memahami bagaimana konsistensi antar dokumen tersebut sangat penting agar perencanaan dan penganggaran tidak berjalan dalam arah yang berbeda. Sinkronisasi ini juga berkaitan erat dengan indikator kinerja daerah, yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan.
2.2 Teknik Penyusunan Prioritas Daerah dalam RKPD
RKPD merupakan jembatan antara dokumen perencanaan jangka menengah (RPJMD) dan anggaran tahunan (APBD). Oleh karena itu, pelatihan mengajarkan metode praktis dalam menyusun RKPD, yaitu:
- Identifikasi masalah dan kebutuhan pembangunan melalui analisis data sektoral, hasil evaluasi tahun sebelumnya, serta masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan;
- Penetapan prioritas daerah, yang harus mempertimbangkan visi kepala daerah, arahan nasional (RKP dan RPJMN), serta urgensi dan potensi dampak kebijakan;
- Penyusunan indikator kinerja utama (IKU) daerah secara kuantitatif agar output dan outcome dapat diukur dan dipantau dengan baik.
Simulasi penyusunan RKPD dilakukan dengan pendekatan partisipatif, di mana peserta dilatih menyeleksi program dan kegiatan melalui diskusi kelompok, lalu menyusun logframe (kerangka logis) sebagai alat bantu untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar unsur perencanaan.
2.3 Integrasi Musrenbang sebagai Instrumen Partisipatif
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) menjadi instrumen penting dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam pelatihan, peserta dilibatkan dalam simulasi tahapan Musrenbang dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota, dengan fokus pada:
- Pengumpulan usulan program dari masyarakat dan pemangku kepentingan lokal;
- Proses verifikasi dan validasi teknis usulan untuk menghindari duplikasi, overlap kewenangan, atau ketidaksesuaian dengan tujuan strategis;
- Teknik fasilitasi diskusi kelompok dan pengambilan keputusan berbasis konsensus, termasuk penggunaan tools digital seperti SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah).
Musrenbang bukan hanya seremoni tahunan, melainkan forum demokrasi lokal yang menjamin bahwa anggaran disusun berdasarkan aspirasi riil masyarakat. Melalui pelatihan, peserta dilatih menghindari pendekatan top-down yang terlalu birokratis dan menggantinya dengan pendekatan kolaboratif.
2.4 Penerapan Pendekatan Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial (THIS)
Pendekatan THIS (Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang kini menjadi standar dalam perencanaan daerah. Dalam pelatihan, peserta diajarkan:
- Tematik, yakni penyusunan program berdasarkan isu-isu prioritas nasional seperti kemiskinan, pengangguran, atau ketahanan pangan;
- Holistik, yakni melihat program secara menyeluruh dari hulu ke hilir, bukan secara sektoral;
- Integratif, yaitu mengintegrasikan program antar OPD (lintas sektor) dan antar jenjang pemerintahan;
- Spasial, artinya perencanaan harus mempertimbangkan konteks wilayah dan potensi lokal.
Melalui pendekatan THIS, diharapkan alokasi anggaran dapat menghasilkan pembangunan yang terintegrasi dan tidak terfragmentasi antar sektor. Peserta diajak mengidentifikasi ketidaksesuaian rencana antar perangkat daerah dan menyusun peta program prioritas berdasarkan lokasi geospasial.
2.5 Penyesuaian dengan Kebijakan Nasional dan RPJMN
Perencanaan daerah tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, pelatihan juga membekali peserta untuk:
- Menyesuaikan arah pembangunan daerah dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), termasuk kebijakan prioritas nasional, seperti pengurangan stunting, digitalisasi pelayanan publik, dan pembangunan hijau;
- Menyesuaikan dengan kebijakan Dana Transfer Daerah, seperti Dana Insentif Daerah (DID) yang mensyaratkan indikator kinerja tertentu;
- Membuat alignment indikator kinerja daerah dengan indikator kinerja nasional, sehingga evaluasi kinerja daerah tidak hanya internal, tetapi juga menjadi bagian dari mekanisme nasional.
Pelatihan ini mencakup studi kasus penyelarasan program di sektor pendidikan atau kesehatan, di mana peserta diminta menyesuaikan prioritas daerah dengan kebijakan nasional, sekaligus mempertimbangkan realitas lokal dan keterbatasan sumber daya.
2.6 Penyusunan Renja OPD sebagai Turunan RKPD
Setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bertanggung jawab menyusun Rencana Kerja (Renja OPD) sebagai dokumen pelaksanaan tahunan. Dalam pelatihan, peserta diajarkan:
- Cara menurunkan sasaran RKPD ke dalam program dan kegiatan OPD;
- Teknik penyusunan indikator program dan kegiatan yang sinkron dengan sistem penganggaran;
- Penyusunan logika hasil (result-based planning) yang menjamin bahwa anggaran digunakan untuk menghasilkan manfaat nyata.
Renja OPD harus selaras dengan pagu indikatif yang disusun dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA), sehingga peserta dilatih menyusun kegiatan yang proporsional dan fokus pada target prioritas, bukan hanya mengulang kegiatan rutin tahunan.
2.7 Risiko Perencanaan yang Tidak Terkonsolidasi
Dalam sesi refleksi, pelatihan juga mengeksplorasi risiko besar yang muncul ketika perencanaan tidak terkonsolidasi dengan baik:
- Program tidak berdampak karena tidak mengacu pada RPJMD;
- Duplikasi atau tumpang tindih program antar OPD;
- Kegiatan yang gagal dilaksanakan karena perencanaan teknis tidak matang;
- Penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akibat inkonsistensi antara janji politik dan program anggaran.
Untuk menghindari hal ini, pelatihan mendorong lahirnya budaya koordinasi lintas OPD dan penggunaan dokumen perencanaan sebagai living document yang terus diperbarui dan dikaji, bukan sekadar formalitas.
3. Identifikasi dan Analisis Sumber Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah merupakan unsur fundamental dalam proses penyusunan anggaran. Tanpa pendapatan yang cukup dan terukur secara realistis, perencanaan belanja akan rapuh dan tidak berkelanjutan. Dalam pelatihan penyusunan anggaran daerah, pemahaman terhadap sumber-sumber pendapatan daerah menjadi landasan utama untuk menyusun APBD yang kredibel. Fokus pelatihan tidak hanya pada aspek administratif pencatatan, tetapi juga pada kemampuan analitis, strategi optimalisasi, serta kepatuhan terhadap regulasi yang mengatur pemungutan dan penggunaan pendapatan daerah.
3.1 Klasifikasi Pendapatan Daerah
Peserta pelatihan pertama-tama dibekali pemahaman tentang klasifikasi pendapatan daerah yang mengacu pada Permendagri dan sistem akuntansi pemerintah:
- Pendapatan Asli Daerah (PAD) – sumber pendapatan yang dikelola langsung oleh daerah, terdiri dari:
- Pajak Daerah, seperti pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, dan pajak kendaraan bermotor;
- Retribusi Daerah, seperti retribusi jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu;
- Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, seperti dividen BUMD;
- Lain-lain PAD yang Sah, termasuk hasil penjualan aset daerah atau jasa layanan umum.
- Dana Transfer dari Pemerintah Pusat, termasuk:
- Dana Alokasi Umum (DAU)
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
- Dana Bagi Hasil (DBH)
- Dana Insentif Daerah (DID)
- Lain-lain Pendapatan yang Sah, seperti hibah, bantuan keuangan dari provinsi atau pihak ketiga.
Pelatihan menekankan pentingnya proporsi yang sehat antara PAD dan transfer pusat untuk menjamin kemandirian fiskal daerah. Ketergantungan berlebih pada pusat menandakan lemahnya optimalisasi potensi lokal.
3.2 Pemetaan dan Penggalian Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu keterampilan penting yang ditanamkan dalam pelatihan adalah kemampuan memetakan dan menggali potensi PAD. Pendapatan asli daerah, jika digarap serius, dapat menjadi motor penggerak pembangunan daerah secara mandiri. Pelatihan memberikan strategi praktis, seperti:
- Pemetaan potensi ekonomi lokal berbasis sektor unggulan, misalnya pariwisata, industri kecil-menengah, atau pertanian;
- Identifikasi basis pajak dan retribusi baru, seperti pemungutan pajak digital (e-commerce), pajak parkir daring, atau retribusi zona wisata;
- Pendekatan partisipatif dengan pelaku usaha dan masyarakat untuk menjaring ide dan dukungan dalam menggali potensi PAD;
- Evaluasi kinerja BUMD dan unit usaha daerah untuk meningkatkan kontribusi terhadap PAD.
Contoh kasus yang dibahas dalam pelatihan termasuk bagaimana suatu daerah pesisir meningkatkan PAD melalui optimalisasi retribusi pelabuhan perikanan dan penataan manajemen parkir berbasis aplikasi.
3.3 Teknik Proyeksi Pendapatan Daerah
Mengestimasi pendapatan secara akurat merupakan tantangan tersendiri. Terlalu optimistis akan mengakibatkan defisit anggaran, sementara terlalu konservatif dapat menyia-nyiakan potensi pembangunan. Dalam pelatihan, peserta mempelajari:
- Analisis tren historis dan pola musiman dari pendapatan daerah;
- Pendekatan proyeksi bottom-up (berbasis unit pemungut) dan top-down (berbasis asumsi makro ekonomi);
- Penggunaan model statistik sederhana, seperti regresi linier atau moving average;
- Simulasi sensitivitas terhadap kebijakan tarif baru atau perubahan peraturan pusat.
Pelatihan juga membekali peserta dengan kemampuan membuat proyeksi dalam spreadsheet, yang mencakup asumsi makro (pertumbuhan ekonomi daerah, inflasi), asumsi sektoral (jumlah kunjungan wisatawan, produksi industri), dan variabel kebijakan (tarif pajak/retribusi).
3.4 Kepatuhan Regulasi dan Tata Kelola Pemungutan
Aspek hukum menjadi fokus penting dalam manajemen pendapatan. Banyak daerah menghadapi hambatan dalam pengumpulan PAD akibat lemahnya landasan hukum atau tata kelola yang tidak akuntabel. Dalam pelatihan, peserta diajak memahami:
- Persyaratan formil pemungutan pajak dan retribusi daerah, termasuk kewajiban menetapkan Perda dan Perkada sebagai dasar hukum;
- Prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pemungutan, termasuk prosedur pencatatan, penyetoran, dan pelaporan;
- Audit pendapatan oleh BPK dan potensi temuan penyimpangan, seperti pemungutan tanpa dasar hukum, kebocoran penerimaan, dan konflik kepentingan.
Untuk memperkuat akuntabilitas, pelatihan juga menyajikan studi kasus penerapan sistem pemungutan daring (e-tax) yang memungkinkan pelaporan real-time dan integrasi dengan sistem perbankan, sehingga mengurangi risiko kebocoran.
3.5 Strategi Optimalisasi Pendapatan: Antara Kreativitas dan Kepatuhan
Pelatihan tidak hanya menganalisis potensi yang sudah ada, tetapi juga mendorong peserta berpikir kreatif dalam mengembangkan sumber pendapatan baru tanpa melanggar ketentuan hukum. Beberapa strategi yang diajarkan meliputi:
- Diversifikasi sumber PAD, misalnya pengembangan kawasan industri daerah, wisata edukasi, atau pasar tradisional modern;
- Revitalisasi aset milik daerah yang terbengkalai menjadi sumber pendapatan produktif, seperti penyewaan gedung milik pemda atau pemanfaatan lahan tidur;
- Kerja sama dengan sektor swasta dalam bentuk KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) untuk membiayai infrastruktur tanpa membebani APBD;
- Inovasi insentif pajak/retribusi untuk meningkatkan kepatuhan, misalnya diskon atau penghapusan denda untuk pembayaran tepat waktu.
Simulasi desain kebijakan inovatif menjadi bagian dari evaluasi pelatihan, di mana peserta diminta menyusun rencana peningkatan PAD berbasis potensi daerah masing-masing.
3.6 Penilaian Kinerja Pemungutan dan Pengaruhnya terhadap Alokasi Anggaran
Kinerja pendapatan juga menjadi acuan dalam evaluasi fiskal daerah, termasuk dalam penentuan Dana Insentif Daerah (DID). Dalam pelatihan, peserta diajarkan:
- Menghitung rasio kemandirian fiskal daerah, yaitu perbandingan antara PAD dan total pendapatan;
- Menilai efektivitas dan efisiensi pemungutan, dengan membandingkan target dan realisasi serta biaya pemungutan;
- Menggunakan indikator pendapatan sebagai dasar alokasi belanja, terutama untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan langsung (self-financing).
Materi ini penting karena berkaitan langsung dengan kredibilitas APBD. Pendapatan yang tinggi, stabil, dan realistis akan mendukung pelaksanaan program secara penuh dan menghindari pemangkasan anggaran di tengah tahun anggaran berjalan.
.
4. Penyusunan Dokumen KUA-PPAS dan RKA
Setelah tahap perencanaan dan proyeksi pendapatan selesai, langkah berikutnya adalah menyusun dokumen-dokumen resmi anggaran: Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), serta Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Dokumen-dokumen ini menuntun keseluruhan proses pengajuan, pembahasan, hingga penetapan APBD. Pelatihan memfokuskan pada pemahaman format, konten, teknik penyusunan, dan koordinasi antar pemangku kepentingan.
4.1 Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
- Definisi dan Fungsi
KUA merangkum asumsi-asumsi makro fiskal (pertumbuhan ekonomi, inflasi, kurs) dan kebijakan fiskal (strategi pendapatan, belanja, defisit/surplus). Dokumen ini menetapkan plafon indikatif belanja dan penerimaan sebelum masuk ke perincian OPD. - Struktur dan Isi
- Asumsi Makro Fiskal: proyeksi PAD, transfer pusat, dan pendapatan lainnya;
- Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah: strategi optimalisasi PAD, efisiensi belanja;
- Plafon Indikatif Belanja: batas atas belanja langsung dan tidak langsung per urusan pemerintahan;
- Rencana Defisit/Surplus dan Pembiayaan: sumber pembiayaan jika terdapat defisit.
- Metodologi Penyusunan
- Pengumpulan data makro dari instansi keuangan provinsi/pusat;
- Sinkronisasi asumsi dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Bappeda;
- Konsolidasi draft awal untuk disampaikan dalam rapat koordinasi eksekutif.
4.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
- Definisi dan Kaitannya dengan KUA
PPAS adalah turunan KUA yang lebih spesifik pada prioritas program dan plafon anggaran yang dialokasikan ke masing-masing OPD. Dokumen ini menjadi basis pembahasan antara eksekutif dan DPRD sebelum RKA disusun. - Unsur-unsur Utama
- Prioritas Program dan Kegiatan: diambil dari RPJMD/RKPD, diurutkan berdasarkan urgensi;
- Plafon Per OPD: pembagian dana maksimum tiap OPD sesuai urgensi dan kapasitas keuangan;
- Catatan Strategis: justifikasi prioritas dan pengingat kebijakan khusus (misal, keberpihakan pada daerah tertinggal).
- Proses Kerja
- Fasilitasi rapat TAPD-DPRD untuk verifikasi matriks prioritas;
- Revisi draft sesuai masukan DPRD, dengan menjaga prinsip efisiensi dan efektivitas;
- Finalisasi PPAS untuk diterbitkan sebagai lampiran nota keuangan.
4.3 Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)
- Peran RKA dalam Detail Anggaran
RKA menjabarkan lebih rinci setiap program dan kegiatan: sub-kegiatan, keluaran (output), lokasi, indikasi waktu, dan pagu dana. RKA menjadi pedoman operasional pelaksanaan APBD. - Komponen RKA
- Uraian Kegiatan: tujuan, sasaran, lokasi, waktu pelaksanaan;
- Logframe / Kerangka Logis: indikator input, output, outcome;
- Rincian Anggaran: uraian biaya menurut jenis belanja (personil, barang/jasa, modal);
- Sumber Dana dan Jadwal Penarikan: PAD, transfer, pinjaman, hibah.
- Teknik dan Alat Bantu
- Template Permendagri: format baku yang wajib dipatuhi;
- E-Budgeting: sistem informasi anggaran untuk entri data elektronik, validasi otomatis, dan pelacakan histori revisi;
- Peer Review & Quality Checklist: tim penilai internal menilai kelengkapan, keakuratan asumsi, dan konsistensi antar dokumen.
- Koordinasi dan Validasi
- Sinkronisasi RKA OPD dengan pagu PPAS;
- Verifikasi oleh Inspektorat dan Bappeda: mengecek kepatuhan prosedur dan kepastian nilai manfaat;
- Simulasi penyesuaian apabila terjadi perubahan pendapatan atau kebijakan pusat.
5. Analisis dan Priorizasi Program
Dalam konteks sumber daya terbatas, penting bagi daerah untuk memprioritaskan program berdasarkan dampak dan urgensi. Pada modul ini, peserta belajar:
- Metode Cost-Benefit Analysis (CBA) dan Analisis Cost-Effectiveness (CEA) untuk mengevaluasi nilai tambah setiap program;
- Matrix Urgency-Impact (misalnya skala 1-5) untuk memetakan kegiatan dalam kuadran prioritas tinggi-rendah;
- Penggunaan software sederhana untuk mensimulasikan perubahan alokasi anggaran.Diskusi kasus nyata-seperti perbandingan program pembangunan infrastruktur versus program kesejahteraan sosial-memperlihatkan bagaimana hasil analisis memengaruhi keputusan penetapan anggaran.
6. Integrasi dengan Sistem Akuntansi dan SPIP
Transparansi dan akuntabilitas menuntut integrasi antara perencanaan anggaran dengan sistem keuangan daerah (SAKD) dan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Materi mencakup:
- Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis akrual dan bagaimana mencatat transaksi sesuai klasifikasi dan objek anggaran;
- Penjelasan modul SAKD: pencatatan penerimaan, belanja, dan penatausahaan barang;
- Penerapan SPIP: tujuh elemen pengendalian intern, terutama penilaian risiko, pengendalian kegiatan, dan pemantauan.Pelatihan simulatif menjalankan alur transaksi anggaran dalam aplikasi SAKD memperkuat pemahaman teknis, sementara studi audit internal dan eksternal mengilustrasikan temuan umum serta rekomendasi perbaikan.
7. Mekanisme Pelaksanaan dan Pengadaan
Tahap pelaksanaan anggaran tidak lepas dari proses pengadaan barang/jasa. Fokus pembelajaran meliputi:
- Regulasi LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dan Permendagri terkait;
- SOP Pengadaan: perencanaan, pemilihan penyedia, kontrak, serta monitoring;
- Teknik review dokumen seperti DED (Detail Engineering Design), TOR (Terms of Reference), dan RKS (Rencana Kerja dan Syarat).Melalui role-play rapat panitia pengadaan, peserta mengasah keterampilan negosiasi, evaluasi penawaran, dan mitigasi potensi konflik kepentingan.
Kesimpulan
Pelatihan Penyusunan Anggaran Daerah membekali ASN dan pemangku kebijakan dengan pengetahuan komprehensif, mulai dari landasan hukum hingga praktik integrasi teknologi. Setiap modul-perencanaan, penyusunan dokumen, analisis program, hingga pelaporan-dirancang agar terhubung secara sistematis, membentuk siklus anggaran daerah yang akuntabel dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Dengan pemahaman mendalam atas prosedur, metode analisis, dan perangkat teknologi, peserta diharapkan mampu menghasilkan APBD yang tidak hanya tepat administrasi, tetapi juga berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan di daerah masing-masing.